Ketika Istri Tidur Terjadi Sesuatu Di Kamar Adik Iparku

Adik Ipar

Sore itu, ponselku berdering. Nama Karina, adik iparku, muncul di layar. Biasanya dia menghubungi hanya untuk hal penting. "Mas, bisa jemput aku di kampus? Motorku mogok," suaranya terdengar sedikit panik. Aku menghela napas. Istriku sedang pergi, dan sore itu adalah satu-satunya waktu luangku. Namun, janji itu sudah terucap. Sebagai kakak ipar, aku merasa punya tanggung jawab.

Sesampainya di kampus, Karina sudah menunggu di gerbang, wajahnya cemberut. Dia memang agak manja, tipikal bungsu. "Susah banget dihubungin," gerutunya sambil naik ke mobil. Aku hanya tersenyum. Perjalanan pulang terasa lebih hening dari biasanya. Aku bisa merasakan adik iparku ini gelisah. "Ada apa, Dek?" tanyaku akhirnya. Dia terdiam sejenak, lalu pelan berkata, "Aku... aku putus sama pacarku, Mas."

Sesampainya di rumah, Karina langsung masuk kamar tamu. Aku membiarkannya sendiri sejenak, memberinya ruang. Setelah beberapa waktu, aku menghampirinya. Pintu sedikit terbuka. Dia duduk di tepi ranjang, bahunya bergetar. Dia mengenakan baju tidur dress satin hitam yang tipis, tanpa BH, hanya celana dalam. Aku masuk, duduk di sampingnya. "Cerita aja, Dek. Mas dengerin."

Karina mulai bercerita. Dari awal hubungan mereka, janji-janji manis, hingga akhirnya pertengkaran hebat yang berujung pada kata putus. Air matanya tak terbendung. Aku hanya diam, sesekali menepuk punggungnya, berusaha menenangkan. Di tengah isakannya, dia tiba-tiba memelukku erat. Pelukan seorang adik yang mencari perlindungan, tapi juga terasa begitu rentan dan dekat.

Detik itu, aku merasakan sesuatu yang berbeda. Bukan lagi pelukan adik ipar semata. Ada kerapuhan yang begitu nyata, dan entah mengapa, aku merasa ingin melindungi lebih dari sekadar hubungan kakak ipar. Dia mendongak, matanya yang basah menatapku dalam. "Mas, aku nggak punya siapa-siapa lagi," bisiknya, suaranya parau, meluluhkan pertahananku. Jantungku berdesir, ada tarikan aneh yang tak bisa kuingkari.

Malam semakin larut. Kami masih duduk berdua di kamar tamu. Obrolan berubah, dari kesedihan tentang pacarnya, beralih ke masa depan, impian, dan hal-hal pribadi lainnya. Ada momen ketika kami tertawa kecil, melupakan sejenak masalah yang ada. Kenyamanan itu terasa begitu kuat, bahkan mungkin terlalu kuat, menciptakan celah yang berbahaya.

Karina menyandarkan kepalanya di bahuku. Keheningan menyelimuti. Aku bisa merasakan napasnya yang hangat, aroma sampo di rambutnya. Sebuah pikiran melintas, sekilas, tentang betapa dekatnya kami saat itu. Batasan sebagai adik ipar terasa begitu tipis, hampir tak terlihat. Aku menoleh, wajah Karina sangat dekat. Matanya terpejam, air mata masih mengering di pipinya. Entah dorongan apa, bibirku bergerak, menyentuh keningnya, lalu turun ke pipinya yang lembap. Dan sebelum aku sadar sepenuhnya, bibirku sudah menempel lembut di bibirnya. Sebuah ciuman singkat, namun cukup menggairahkan, memicu desiran listrik yang tak terbantahkan.

Karina tidak menolak, justru ada sedikit respons balik. Tangannya yang semula menggenggam bajuku, kini merambat naik ke leherku, menarikku lebih dekat. Ciuman itu semakin dalam, semakin panas. Aku merasakan payudaranya yang tertekan di lenganku. Dengan perlahan, tanganku bergerak, membelai punggungnya, lalu naik ke bahunya. Karena tidak ada penghalang BH, payudaranya yang montok terasa jelas di bawah dress satinnya yang licin. Aku meremas lembut payudaranya dari balik kain tipis itu. Karina memejamkan mata, mendesah pelan. "Mmh... Mas..." Sebuah desahan tertahan, nyaris tak terdengar. Aku semakin berani. Dengan cepat, aku menyelipkan tanganku ke dalam dress satinnya, langsung menyentuh kulitnya yang halus. Aku meremas payudaranya, ibu jariku mulai memainkan putingnya yang mengeras. Desahan Karina semakin intens. "Aduh, Mas... ahh..." Suaranya bergetar, lebih dari sekadar desahan, sebuah rintihan halus. Aku mendekatkan wajahku, menjilat dan menghisap putingnya penuh nafsu, merasakan sensasi manis dan asin bercampur. "Mmh... nikmat sekali, Dek..." gumamku. Karina mengerang, "Mas... ahhh... lagi Mas... aku suka..."

Tanganku semakin liar, meluncur ke bawah, mencari celah di balik dress satinnya. Aku bisa merasakan pahanya yang halus. Karina tidak menolak, justru sedikit mengangkat pinggulnya, seolah memberiku akses. Dengan cepat, aku menarik dress satin itu ke atas, lalu menarik celana dalamnya. Karina kini telanjang bulat di hadapanku. Tubuhnya putih mulus, dengan bulu kemaluan yang masih tipis, menunjukkan usianya yang masih sangat muda.

Aku segera berlutut di hadapannya, menatap vaginanya yang sudah basah dan sedikit terbuka. Aroma khas wanita menyeruak, memabukkan. Tanpa ragu, aku mendekatkan wajahku, mulai menjilati bibir vaginanya dengan ujung lidahku. Karina sontak menggeliat, "Aduh, Mas... geli..." tapi suaranya lebih seperti bisikan kenikmatan. Aku mengabaikannya, terus menjelajah. Lidahku merayap masuk lebih dalam, menjelajahi setiap lekuk.

Aku menemukan klitorisnya yang kecil dan bengkak. Dengan hati-hati, aku mulai menjilat dan menghisapnya dengan gerakan memutar dan variasi tekanan. Desahan Karina semakin keras dan tak terkontrol. "Ahhh... Mas... mmmh... enak banget..." Dia mulai mengerang, tubuhnya kejang-kejang ringan di atas kasur. "Lebih cepat, Mas... ahhh... aduh, Mas... nggak kuat..."

Aku mempercepat gerakan lidahku, menghisap klitorisnya lebih kuat, seolah ingin menyerap semua kenikmatan darinya. Kedua tangan Karina mencengkeram erat rambutku, menariknya sesekali. "Mas... ahhh... ah ah ahhh... OHH... Mas... Akuuu..." Tubuhnya menegang hebat, sebuah getaran kuat menjalari seluruh tubuhnya. Napasnya memburu, matanya terpejam erat, dan ia mendesah panjang, "AHHHHHH...!!!"

Itu adalah orgasme pertamanya, dan aku merasakannya dengan jelas. Vaginanya berdenyut-denyut di lidahku, mengeluarkan cairan kental yang hangat dan sedikit asin. Dia ambruk di kasur, napasnya tersengal-sengal.

Lanjut ke bagian panas!

Setelah orgasme pertamanya, Karina tampak lemas, namun ada semburat merah di pipinya. Matanya perlahan terbuka, menatapku dengan sorot yang berbeda: campuran rasa malu, puas, dan mungkin, sebuah keinginan yang tak terucap. "Mas..." bisiknya, suaranya masih serak, nyaris tak terdengar.

Aku berdiri, membiarkan hasratku yang sudah tak terbendung mengambil alih kendali. Dengan cepat, aku melepas seluruh pakaianku. Penisku yang sudah ereksi penuh, tegak berdiri di hadapannya. Karina menatapnya, lalu pandangannya naik ke mataku. Ada keraguan di sana, tapi juga rasa ingin tahu yang besar.

"Sini, Dek..." ucapku, suaraku berat dan tercekat. Karina perlahan bangkit, merangkak mendekatiku. Dia menatap penisku dengan intens, lalu dengan ragu-ragu mengulurkan tangannya. Jari-jarinya yang lentik menyentuh pangkal penisku. Aku merasakan sengatan listrik menjalari tubuh. Dia mulai menggenggamnya, merasakan setiap inci kerasnya.

"Mas... ini... besar sekali..." bisiknya, matanya membulat tak percaya. Aku mengangguk, napas memburu. Dengan perlahan, tangannya mulai bergerak, mengocok penisku naik turun. Gerakannya masih kaku, tapi cukup untuk membuatku menggeliat. "Mmmh... enak, Dek... terus..." rintihku. Dia mempercepat kocokannya, membuatku mendesah semakin keras. "Ahh... Mas... aku suka banget pegang ini..."

Aku menariknya berdiri, memeluknya erat. Tubuh telanjang kami saling bersentuhan, kulit panas bertemu kulit hangat. Bibirku kembali mencari bibirnya, menciumnya rakus. Tanganku menggerayangi punggungnya, lalu kembali ke pantatnya, meremasnya lembut. Aku bisa merasakan vaginanya yang basah menyentuh pangkal pahuku.

Aku menuntunnya kembali ke kasur, membaringkannya. Aku naik di atasnya, tubuhku menindih lembut tubuhnya. Mataku menatap dalam matanya, mencari persetujuan. Ada ketakutan, tapi juga nyala gairah yang jelas di sana. Aku perlahan menggesek-gesekkan kepala penisku yang sudah basah di pintu vaginanya.

"Ahhh... Mas..." desahnya, tubuhnya menggeliat. Sensasi gesekan kulit ke kulit, dengan pelumas alami dari vaginanya, sungguh memabukkan. Aku terus menggesek, naik turun, merasakan kehangatan dan kebasahan di sana. "Enak, Dek? Ini... bikin kamu lebih enak, ya?" bisikku, suaraku serak. Karina mengangguk, matanya terpejam, "Aduh, Mas... iya... enak banget..." Kakinya mulai mengunci pinggangku, menarikku lebih dekat. Sange itu sudah mencapai puncaknya, dan kedua tubuh kami tak bisa lagi menyembunyikannya.

Aku mengatur posisiku, mengarahkan penisku tepat di pintu vaginanya. Dengan satu dorongan perlahan, "Slep...!", penisku masuk. Karina memekik tertahan, "Akhh... Mas... pelan-pelan..." Wajahnya meringis, tapi segera berubah menjadi ekspresi lega dan kenikmatan. Aku mulai menggerakkan pinggul, pelan-pelan. "Mmh... Mas... sakit... tapi... enak..." bisiknya, suaranya tercekat.

Kami mengubah posisi. Karina berbalik ke samping, memelukku erat, sementara aku masuk dari belakang. Gaya seks dari samping ini terasa lebih intim, memungkinkan kami untuk saling mencium dan membelai. Aku menggerakkan pinggulku, memaju-mundurkan penisku di dalam vaginanya. "Ohh... Mas... lebih dalam... ahhh..." desahnya, punggungnya melengkung. Sensasi gesekan di dalam terasa begitu pas, membuatku tak ingin berhenti.

Setelah beberapa saat, Karina tiba-tiba bergeser. Dia menungging, memamerkan punggungnya yang melengkung dan pantatnya yang bulat. "Mas... coba gini..." pintanya, suaranya sedikit nakal. Aku tak menyia-nyiakan kesempatan. Aku merangkak di belakangnya, menyesuaikan posisiku, lalu memasukkan penisku dari belakang. Posisi sambil nungging ini terasa begitu mendominasi, dan aku bisa melihat bagaimana setiap dorongan membuat pantatnya bergoyang sensual. "Ahh... Mas... kuat... kuat lagi..." desahnya, kepalanya menyandar di bantal, ekspresi wajahnya campuran kenikmatan dan ketegangan.

Karina kemudian memintaku untuk membalik posisinya. Dia naik ke atasku, mengambil kendali penuh. Dengan pinggulnya, dia mengatur irama, naik turun, menghisap penisku semakin dalam. Gaya Karina di atas ini membuatku bisa melihat langsung ekspresi wajahnya: mata terpejam, bibir sedikit terbuka, keringat membasahi pelipisnya. "Ahh... Mas... ini... enak banget..." dia mendesah, suaranya sarat gairah. Dia bergerak semakin cepat, mengocok penisku dengan vaginanya, membuatku hampir mencapai puncaknya. "Ohh... cepat, Mas... aku nggak kuat..."

Aku merasa tidak tahan lagi. Klimaks sudah di ujung. Dengan satu hentakan terakhir, aku menarik penisku keluar dari vaginanya. "Ahhh...!!" teriakku, bersamaan dengan semburan mani yang hangat dan kental, memuncrat deras ke bagian payudaranya yang montok, membasahi kulit putihnya. Karina terkesiap, matanya terbelalak, menatap cairan putih di dadanya, namun tak ada kemarahan. Dia hanya tersengal-sengal, terbaring lemas di kasur, napasnya memburu.

Keheningan yang panjang menyelimuti ruangan. Hanya suara napas kami berdua yang terdengar. Aku menatap Karina. Wajahnya yang semula penuh kesedihan, kini tampak puas dan sedikit linglung. Ada penyesalan yang tiba-tiba menyeruak di benakku, bercampur dengan euforia.

Namun, di benakku, suara istriku kembali menggema, mengingatkanku pada garis merah yang tak boleh kulewati. Aku memaksa diri untuk menarik diri sepenuhnya, memejamkan mata erat, menghela napas panjang. Kuusap lembut rambut Karina. "Sudah larut, Dek. Istirahat ya," ucapku pelan, memecah keheningan yang kini terasa sangat canggung dan berat. Karina mengangguk, lalu bergeser menjauh. Ada kekecewaan yang sangat jelas di matanya, dan juga di hatiku.

Aku bangkit, berjalan ke pintu. Karina mengikutiku dengan pandangan mata. "Makasih ya, Mas. Udah mau dengerin," katanya, suaranya lebih tenang, namun ada nada yang berbeda, mungkin sedikit kesepian atau malah harapan. Aku tersenyum tipis, sebuah senyum yang terasa hampa. "Sama-sama, Dek. Kapan pun butuh Mas, bilang aja."

Malam itu, aku menutup pintu kamar tamu, meninggalkan Karina sendirian dengan pikirannya. Dan aku, kembali ke kamarku, dengan pikiran yang sangat campur aduk, menyadari betapa mudahnya batasan bisa terkikis oleh desakan hasrat sesaat.

Kisah ini adalah pengingat bahwa keputusan yang diambil dalam momen rentan bisa memicu rentetan kejadian yang tak terduga, di mana batasan moral dan etika bisa terkikis habis oleh desakan hasrat dan emosi. Apakah Anda pernah menghadapi situasi di mana batasan dalam hubungan terasa begitu tipis dan sulit dipertahankan, dan bagaimana Anda menghadapinya?

Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel