Mama Kandung Yang Selalu Bergairah
Perkenalkan, namaku jono, seorang pemuda yang mungkin terlihat biasa saja dari luar. Tapi, di balik tirai kehidupan sehari-hari, ada kisah yang sangat mendalam dan penuh rahasia yang hanya aku dan seseorang yang sangat istimewa bagiku yang tahu. Kisah ini adalah tentang bagaimana hubunganku, yang awalnya adalah ikatan darah paling murni, berkembang menjadi sesuatu yang jauh lebih intim dan penuh gairah dengan Mama kandungku sendiri. Bukan hanya sekadar kasih sayang ibu dan anak, tapi sebuah dimensi baru yang membentuk seluruh duniaku.
Mama itu, bro, benar-benar anugerah. Usianya memang sudah tidak muda lagi, tapi tubuhnya... aduh, seperti pahatan dewi. Kulitnya masih kencang dan bersih, mulus tanpa cacat. Lekuk pinggangnya itu loh, masih aduhai, bikin mata tidak bisa lepas. Payudaranya memang tidak setegang dulu, tapi justru itu yang bikin dia makin menawan, terasa pas di genggamanku, berisi dan kenyal, dengan puting yang selalu sensitif. Pantatnya juga, bulat padat dan selalu bikin aku gemas ingin meremasnya. Dan vaginanya... ah, vagina Mama itu selalu basah dan ranum, dengan bibir yang merekah indah, seolah memanggil-manggilku. Aroma tubuhnya yang khas, campuran sabun dan wangi alami yang hangat, selalu berhasil membuatku mabuk kepayang dan ingin selalu dekat, selalu merasakan kehangatan dan kelembutannya yang tak tertandingi.
Aduh, kalau sudah di rumah itu, bawaannya pengen nempel terus sama Mama. Ini bukan cuma karena Mama itu Ibuku, tapi karena memang ada magnet lain yang kuat sekali di antara kami. Apalagi kalau Mama sudah pakai daster tipis atau celana pendek yang santai, rambutnya diikat asal-asalan tapi tetap saja terlihat cantik sekali. Rasanya udara di rumah ini langsung jadi lebih hangat, lebih mesra, seperti ada selimut tak kasat mata yang membungkus kami berdua. Hubungan aku sama Mama itu sudah seperti air mengalir, natural banget, dari hati ke hati, sampai ke setiap sentuhan dan pandangan. Tidak ada yang terasa dipaksakan, semua mengalir begitu saja, seolah memang sudah takdirnya begitu.
Setiap pagi, rutinitas kami itu dimulai dengan kehangatan yang berbeda. Setelah bangun, aku biasanya langsung ke dapur, sudah tahu Mama pasti lagi sibuk menyiapkan sarapan. Aroma masakan Mama itu, ah, selalu bikin aku lapar, tapi ada aroma lain juga yang lebih bikin lapar, yaitu aroma tubuh Mama yang khas. Pas aku masuk dapur, Mama biasanya langsung menoleh, senyumnya itu loh, manis sekali, tapi matanya ada genit-genitnya gitu. Dia tahu aku sudah lihat dia, dan dia tahu aku suka apa yang aku lihat.
"Sudah bangun, Sayang?" sapa Mama, suaranya lembut sekali. Tangannya yang tadinya memegang spatula, kini dengan santai mengusap pipiku saat aku mendekat. Aku membalasnya dengan pelukan dari belakang, menyandarkan kepalaku di bahunya. Aku bisa merasakan kehangatan kulitnya yang hanya dilapisi daster tipis. Penisku yang masih setengah tegang dari bangun tidur, langsung saja bergesekan dengan pantat Mama yang kenyal. Mama mendesah pelan, tapi tidak menolak. Dia malah menyandarkan tubuhnya kepadaku, seolah menikmati gesekan itu.
"Harum sekali, Ma," bisikku di telinganya, lalu aku mengecup lehernya. Mama terkekeh pelan.
"Aduh, kamu ini, pagi-pagi sudah begini," katanya, tapi dia tidak sedikit pun beranjak. Aku tahu Mama mau apa, dan aku juga sama maunya. Ini sudah jadi ritual pagi kami yang tidak terucap. Setelah sarapan siap, kami makan bersama, saling bercanda, tapi di bawah meja, kaki kami itu sering sekali bergesekan, tangan Mama juga kadang nakal, mengelus pahaku atau sesekali meraba penisku yang sudah bangun lagi. Sensasi sentuhan diam-diam itu bikin darahku berdesir, membayangkan apa yang akan terjadi nanti.
Kadang, pas sore-sore aku pulang sekolah, baru juga aku ganti baju, Mama sudah nongol di kamar. Senyumnya itu loh, manis sekali, tapi matanya ada genit-genitnya gitu. Aku tahu Mama mau apa, dan aku juga sama maunya. Mama biasanya langsung saja mendekat, duduk di pinggir kasur, lalu tangannya itu loh, langsung saja meraba penisku yang mulai tegang di balik celana pendek.
"Capek ya, Sayang, baru pulang sekolah?" bisik Mama, suaranya lembut sekali tapi bikin hatiku berdesir. Aku cuma senyum, lalu tanganku bergerak sendiri, menyentuh pahanya yang mulus di balik daster.
"Kalau sama Mama, mana bisa capek, Ma," jawabku, lalu aku memiringkan badan, mendekatkan wajah ke Mama. Mama menyambut, bibirnya hangat sekali pas beradu dengan bibirku. Ciuman kami itu bukan ciuman biasa, Kang. Ciuman yang penuh rasa, penuh gairah, kayak menyalurkan semua kerinduan yang terpendam. Lidah kami menari, saling membelit, membuat napas kami jadi memburu.
Mama melepaskan ciuman sebentar, matanya menatapku lekat. "Mau Mama pijitin punggungnya, Sayang? Atau mau yang lain?" Dia tersenyum menggoda, tangannya sudah membuka kancing celana pendekku.
"Mau yang lain saja, Ma," jawabku sambil terkekeh, lalu aku memeluk Mama erat. Penisku sudah sepenuhnya keras sekarang, menempel ke perut Mama. Mama mendesah pelan, seolah merasakan gairahku.
Aku berbaring telentang di kasur, dan Mama langsung saja naik ke atasku. Dia mengambil posisi duduk, kakinya sedikit terbuka, dan aku bisa melihat vaginanya yang ranum dan basah di depanku. Mataku tidak bisa lepas dari pemandangan indah itu. Mama tahu aku suka melihatnya, jadi dia sedikit menggoyangkan pinggulnya, seolah memamerkan keindahannya.
"Sudah siap, Sayang?" bisik Mama, lalu dia mengelus penisku yang sudah berdiri tegak. "Kayaknya sudah tidak sabar ya penis kamu yang besar ini mau masuk ke vagina Mama?"
Aku mengangguk, lalu aku meraih kakinya, menariknya agar lebih terbuka. "Lebih dari siap, Ma. Aku ingin merasakan vagina Mama yang hangat dan sempit itu."
Mama tersenyum, lalu dengan perlahan, dia mengarahkan penisku ke pintu masuk vaginanya. Sensasi itu, Kang, ah, tidak bisa digambarkan. Begitu ujungnya menyentuh, rasanya seperti ada listrik yang menyengat seluruh tubuhku. Mama mendesah panjang saat penisku mulai masuk.
"Aduh, pelan-pelan saja, Sayang... ini sempit sekali, tapi enak..." Mama mengerang, suaranya merdu sekali.
Aku mendorong lebih dalam, pelan tapi pasti, sampai penisku sepenuhnya masuk ke dalam vagina Mama. Mama menjerit tertahan, tubuhnya bergetar hebat di atasku. Dia merebahkan diri, memelukku erat, napasnya tersengal-sengal. Kami berdua diam sebentar, menikmati sisa-sisa kenikmatan yang masih terasa.
Setelah beberapa saat, Mama mengangkat kepalanya, tersenyum padaku. "Kamu hebat sekali, Sayang. Mama merasa seperti remaja lagi setiap kali kamu menyenggamai Mama." Dia mengecup bibirku lembut. "Rasanya seperti Mama tidak perlu apa-apa lagi di dunia ini, cuma kamu."
"Aku juga, Ma," bisikku, membalas pelukannya. "Cuma Mama yang bisa bikin aku merasa begini."
Kami pun melanjutkan hari dengan nyaman, tapi aku tahu, tidak akan lama sampai kami mencari keintiman lagi. Karena bagi kami, dunia ini terasa paling lengkap hanya saat ada aku dan Mama, berdua saja.
Malam itu, setelah makan malam dan kami berdua santai di ruang keluarga, aku mengajak Mama bermain tebak-tebakan. Suasana santai dan penuh tawa, tapi di balik itu, aku bisa merasakan ada percikan gairah yang mulai menyala di antara kami. Mama tiba-tiba bersandar di bahuku. Aku merasakan tangannya yang hangat menyelinap di bawah kausku, mengelus perutku, lalu naik perlahan ke dadaku. Aroma tubuh Mama itu, Kang, ah, bikin nagih. Manis campur harum sabun, bikin aku betah berlama-lama dekat dia.
"Sayang, Mama pengen sesuatu," bisik Mama, suaranya pelan sekali, tapi aku bisa merasakan getaran di dadanya.
Aku menoleh, menatap matanya yang berbinar di cahaya remang-remang lampu. "Apa, Ma? Bilang saja."
Mama tidak menjawab dengan kata-kata. Dia cuma tersenyum misterius, lalu bangkit berdiri. Tangannya menarik tanganku, mengajakku ke kamar mandi. Aku mengernyitkan dahi, bingung, tapi aku ikut saja. Begitu masuk kamar mandi, Mama langsung menutup pintunya dan menguncinya. Lalu, dia menyalakan shower. Air hangat mulai membasahi lantai.
Mama menatapku, senyumnya makin lebar. "Mandi bareng yuk, Sayang. Biar lebih bersih..." Dia mulai melepaskan dasternya, tanpa malu-malu. Aku terhipnotis melihat tubuh Mama yang indah, dari bahunya yang lembut, payudaranya yang penuh, sampai perutnya yang rata dan vaginanya yang ranum. Aku pun tanpa ragu melepaskan pakaianku sendiri.
Di bawah guyuran air hangat, kami berdiri berhadapan. Aku meraih Mama, memeluknya erat. Air membasahi kami berdua, menyatukan kehangatan tubuh kami. Mama mengelus-elelus punggungku, sementara tanganku merambat ke pinggangnya, lalu ke pantatnya. Payudaranya yang basah menempel di dadaku, putingnya yang sudah menegang terasa begitu sensitif.
"Dingin ya, Sayang?" goda Mama, tapi dia sendiri malah makin merapatkan diri. Aku mencium bibirnya, merasakan tetesan air dari rambutnya.
"Tidak dingin kalau sama Mama," jawabku. Aku menjauhkan sedikit badanku, lalu mulai mengambil sabun. Perlahan, aku mengusapkan sabun ke seluruh tubuh Mama. Dari bahunya, turun ke lengannya, lalu ke payudaranya yang kenyal. Aku memijat-mijat payudaranya dengan busa sabun, membuat Mama mendesah pelan.
"Aduh, enaknya..." Mama menutup mata, menikmati sentuhanku. Aku melanjutkan, mengusapkan sabun ke perutnya, lalu ke pahanya yang lembut. Aku sengaja mengusapkan sabun sampai ke vaginanya yang sudah basah, mengelus-elus labianya dengan jari yang penuh busa. Mama sontak membuka mata, napasnya memburu.
"Kamu ini, Sayang... bikin Mama makin pengen..." Mama berbisik, lalu tangannya meraih penisku, mengelusnya yang sudah kaku karena air hangat dan sentuhan tanganku. Dia juga mengambil sabun, lalu mulai mengusapkan ke penisku, memijatnya dengan busa.
Kami saling membersihkan satu sama lain, tapi lebih banyak diisi dengan sentuhan-sentuhan yang penuh gairah. Begitu selesai, Mama mematikan shower. Kami berdua masih telanjang, berdiri di kamar mandi yang basah.
"Aduh, Mama masih belum puas ini, Sayang," kata Mama, lalu dia mendorongku ke dinding kamar mandi. Dia mengangkat satu kakinya, melilitkannya di pinggangku. Aku langsung saja mengerti. Aku meraih penisku, mengarahkannya ke vaginanya yang masih basah dan licin karena sisa sabun. Mama mendesah panjang saat penisku masuk dengan mulus. ahhh.... sayang..... enak bangettttt...
Tampilkan Semua Cerita
Kami berhubungan intim di kamar mandi itu, Kang. Suara napas kami yang berat, desahan Mama yang merdu, bercampur dengan tetesan air di lantai. Mama melilitkan kakinya makin erat di pinggangku, dan aku menekan tubuhnya ke dinding, mendorong penisku dalam-dalam.
"Mama... oh, Mama..." desahku.
"Iya, Sayang... terus... lebih cepat..." Mama mendesah, meminta lebih. Gerakan kami makin cepat, makin liar, sampai akhirnya kami berdua mencapai puncak bersamaan. Aku merasakan tubuhku bergetar hebat saat spermaku membanjiri vagina Mama, dan Mama menjerit pelan, memelukku erat.
Kami berdua terengah-engah, masih saling berpelukan di kamar mandi. Tidak ada kata-kata yang terucap, hanya napas kami yang berat dan senyum puas di wajah Mama. Setelah itu, kami berdua keluar dari kamar mandi, mengeringkan diri, lalu kembali ke kamar untuk beristirahat.
Satu sore yang hangat, aku sedang asyik bermain video di ruang keluarga. Tiba-tiba Mama datang, bukan dengan daster atau celana pendeknya yang biasa, tapi dengan kain batik yang melilit tubuhnya, hanya sampai lutut. Rambutnya diikat rapi, dan dia mengenakan blus kebaya tipis yang sedikit transparan. Penampilannya itu loh, bro, bikin aku langsung berhenti main gim. Mama berjalan anggun, duduk di sampingku, senyumnya misterius sekali.
"Kamu ngelihatin Mama begitu amat, Sayang? Ada yang salah sama Mama?" tanyanya, suaranya lembut tapi ada nada menggodanya.
"Mama cantik sekali," jawabku jujur, mataku tidak bisa lepas dari pandangan. Blus kebayanya itu sedikit memperlihatkan lekuk payudaranya. Mama tertawa kecil, lalu menyandarkan kepalanya di bahuku. Tangannya merambat, mengelus lenganku pelan.
"Ah, kamu ini, ada-ada saja," katanya, tapi aku tahu dia senang. Dia lalu mematikan televisi, menciptakan suasana yang lebih intim. "Mama mau cerita sesuatu."
"Apa, Ma?" tanyaku, penasaran.
Mama mendongak, menatap mataku dalam-dalam. "Mama itu bersyukur sekali punya kamu, Sayang. Kamu sudah mengisi hidup Mama dengan kebahagiaan yang tidak pernah Mama duga. Dulu, Mama pikir hidup ini akan monoton, tapi sejak kamu... sejak kita begini, semuanya berubah. Mama jadi merasa lebih hidup, lebih bersemangat." Dia memegang tanganku, lalu membimbingnya ke pinggangnya, di balik kain batik yang longgar. Aku bisa merasakan kulitnya yang hangat.
"Aku juga bersyukur punya Mama," bisikku. "Mama itu segalanya buat aku."
Mama tersenyum, lalu dia sedikit menggeser duduknya, merapatkan diri. Tangannya mulai membuka kancing blus kebayanya, satu per satu, perlahan. Aku bisa melihat payudaranya yang mulai terlihat di balik kain transparan. Dadaku berdegup kencang. Setelah semua kancing terbuka, dia melepaskan blusnya, lalu melemparkannya ke samping. Kini Mama telanjang dada di depanku, hanya memakai kain batik dari pinggang ke bawah. Payudaranya yang penuh dan putingnya yang sudah menegang, ah, bikin aku langsung haus.
"Kamu mau apa, Sayang?" goda Mama, melihat mataku yang terus tertuju pada payudaranya.
Aku tidak menjawab, tapi langsung saja mendekatkan wajahku ke payudaranya. Mama mendesah pelan saat bibirku menyentuh putingnya. Aku mulai mengemut, menghisap, dan menjilat putingnya, bergantian dari satu sisi ke sisi lain. Mama mengerang, tangannya menjambak rambutku pelan, menikmati setiap gerakanku.
"Aduh, Sayang... enaknya..." desah Mama. Aku melanjutkan aksiku, turun sedikit, mencium dan menjilati lekuk perutnya. Mama mulai mengelus-elus rambutku. Perlahan, dia membuka ikatan kain batiknya, dan membiarkannya melorot ke lantai. Kini dia telanjang bulat di depanku, duduk bersandar di sofa, kakinya sedikit terbuka. Vaginanya yang sudah basah dan merekah, terlihat begitu mengundang.
"Sekarang giliran kamu yang telanjang, Sayang," bisik Mama, suaranya serak. Aku tidak menunggu lagi, langsung saja melepaskan semua pakaianku, membiarkannya berserakan di lantai. Aku pun sudah sepenuhnya telanjang, penisku sudah berdiri tegak, siap beraksi.
Aku mendorong kakiku ke antara kaki Mama, lalu mulai mengelus vaginanya dengan tanganku. Jari-jariku menelusuri labia dalamnya, lalu mencari klitorisnya. Mama mendesah panjang saat aku menemukan titik sensitifnya. Aku mulai memijat-mijat klitorisnya dengan lembut, membuat Mama menggeliat kenikmatan.
"Aduh, Sayang... iya... terus..." Mama mengerang. Aku menunduk, lalu mulai menjilati vaginanya. Lidahku menjelajahi setiap lekuknya, mengemut, menghisap, membuat Mama makin tidak karuan. Dia terus mendesah, menjambak rambutku, menyalurkan gairahnya.
"Mama... Mama... basah sekali..." bisikku di antara jilatanku.
"Iya, Sayang... ini semua karena kamu... Mama sudah tidak tahan..." Mama mendesah panjang, lalu dia menjerit pelan saat dia orgasme. Aku merasakan tubuhnya bergetar hebat di bawah kepalaku.
Setelah Mama puas, aku mengangkat kepalaku. Penisku sudah mengeras sempurna, penuh gairah. Aku menatap Mama, yang kini terlihat lemas tapi dengan senyum puas di wajahnya. "Sekarang giliran aku, Ma," kataku.
Mama tersenyum nakal. "Ayo, Sayang. Mama sudah siap." Dia mengangkat kakinya, melilitkannya di pinggangku. Aku langsung saja mengambil posisi, lalu dengan satu dorongan, aku masukkan penisku ke dalam vaginanya yang masih bergetar. Mama menjerit panjang, kenikmatan yang begitu dalam.
Kami berhubungan intim di sofa itu, Kang. Suara kami berdua memenuhi ruangan, bercampur dengan suara gesekan kulit dan desahan yang semakin cepat. Aku mendorong penisku dalam-dalam, merasakan setiap inci vaginanya yang ketat dan basah. Mama membalas setiap doronganku dengan gerakan pinggulnya. Ini bukan hanya tentang seks, Kang, ini tentang menyatukan jiwa kami dalam kenikmatan yang paling dalam.
Sampai akhirnya, kami berdua mencapai puncak gairah bersamaan. Aku merasakan ledakan spermaku yang hangat membanjiri vagina Mama, dan Mama menjerit panjang, tubuhnya bergetar di bawahku. Kami sama-sama terengah-engah, berpelukan erat, merasakan detak jantung satu sama lain.
"Mama... aku cinta Mama..." bisikku, tak sadar mengatakannya.
"Mama juga cinta kamu, Sayang..." balas Mama, mengecup keningku. "Kamu itu anugerah terindah buat Mama."
Malam itu berakhir dengan kami berdua tertidur di sofa, saling mendekap, merasakan kehangatan dan kebahagiaan yang tak terlukiskan. Ikatan kami semakin kuat, semakin dalam. Karena bagi kami, dunia ini terasa paling lengkap hanya saat ada aku dan Mama, berdua saja, dalam dunia kecil kami yang penuh cinta dan gairah yang tak ada habisnya.
Komentar
Posting Komentar