Menemani Kakak Ipar Saat Mati Lampu
Kisah ini bermula di sebuah akhir pekan yang sunyi, saat istriku tak di rumah. Keheningan menyelimuti, hingga tiba-tiba ponselku berdering. Ternyata Mbak Astri, kakak iparku yang berusia 35 tahun, menelepon.
Suaranya cemas, meminta ditemani karena lampu dapur rumahnya mati total dan dia ketakutan sendirian. Tanpa ragu, aku langsung menyanggupi untuk meluncur ke sana. Perasaanku agak campur aduk, membayangkan akan menghabiskan malam berdua dengannya.
Sesampainya di rumah, dapur memang gelap gulita, hanya diterangi sedikit cahaya dari ruang tamu. Mbak Astri menyambutku dengan senyum lega, mengenakan celana pendek tidur dan kaus tipis yang sedikit melorot. Aroma tubuhnya yang lembut langsung menyambut indraku.
Aku segera memeriksa panel listrik, mencoba memperbaiki sekring yang anjlok. Di tengah kesibukanku, tanganku tak sengaja menyentuh betisnya. Dia sedikit tersentak, namun hanya tertawa kecil.
Saat aku berbalik, badanku tak sengaja bersentuhan dengan pantatnya. Lagi-lagi dia tersentak, lalu tersenyum malu. Aku bisa melihat gairah yang jelas banget di matanya, dan payudaranya kini menonjol penuh dengan puting yang tegang kemerahan, terlihat sangat bikin penasaran di balik kaus tipisnya.
Udara di dapur terasa memanas, bukan karena masalah listrik. Aku memutuskan untuk menghentikan perbaikan sejenak. "Mbak, gimana kalau kita istirahat sebentar di ruang tengah?" kataku, suaraku sedikit serak.
Kami lalu duduk di sofa ruang tengah yang remang-remang, hanya diterangi cahaya samar dari luar. Suasana hening, hanya napas kami yang terdengar jelas. Mbak Astri bergeser mendekat, tangannya menyentuh pahaku, mengelusnya pelan.
"Dingin," bisiknya, suaranya makin serak dan tipis. Jantungku berdebar kencang saat tanganku terangkat, menyentuh pipinya yang hangat. Ada kilat keinginan yang tak terbantahkan di mata Mbak Astri.
Perlahan, dia mendekat, menempelkan bibirnya ke bibirku. Ciuman itu awalnya lembut, lalu berubah jadi menuntut dan dalam. Aku membalasnya, tangan kami saling merangkul, dan aku mulai meremas payudaranya.
"Hmm... nyamannya, Dik," erangnya di sela ciuman kami. Tanganku turun, meremas lembut payudaranya, lalu menciumi dan menghisap putingnya yang kini keras. Mbak Astri menggelinjang kencang, badannya mulai gemetar.
"Oh, Adik.. Adik.. ohhh.., oh oh ohh.." dia mendesah sambil mendongakkan kepalanya, pasrah dalam kenikmatan. Aku semakin berani, tanganku masuk ke celana dalamnya, mencari-cari miss V-nya. Sudah basah sekali.
Aku mengelus-elus miss V-nya dari luar celana dalam, dan meskipun dia sedikit menggeliat, berbisik "Jangan...", badannya justru makin merapat. Tak peduli, aku langsung kutarik celana dalamnya ke samping, menampakkan miss V-nya yang mengkilat dan terbuka. Kulitnya putih dan terawat, tanpa banyak bulu, meski usianya 35 tahun.
Aku menunduk, langsung menjilat miss V-nya yang basah, memainkan klitorisnya dengan lidahku. Mbak Astri menjerit kecil, "Aduh.. Dik.. ahhh... nikmat sekali..." Dia menjambak rambutku, menyuruhku terus menjilat lebih dalam.
Dia mengerang keenakan, "Dik.. ahh.. uaa.. uaa.. Dik.." Tangannya sudah di kemaluanku, langsung membuka ritsleting celanaku dan menariknya keluar. Kemaluanku sudah tegang dan siap, membesar di tangannya.
Dia mengocoknya dengan gerakan cepat, berbisik, "Punya kamu besar sekali, Dik..." Lalu dia mendorongku rebah di sofa, naik ke atasku, menghadapku, kemaluanku tepat di depan miss V-nya yang basah. Gairah yang membara jelas terlihat di mata kami berdua.
Napas kami makin kencang, gairah yang tak tertahan memenuhi ruang tengah. "Astri.. aku masukkan ya.. kemaluanku ke miss Vmu," kataku. Dia mengangguk, wajahnya memerah, pasrah.
"Masukkin aja, Dik... aku udah nggak tahan," bisiknya, suaranya bergetar. Tanpa menunggu, dia langsung duduk, memasukkan kemaluanku. Slep.. Astri menjerit, "Ahk.. Dik.. masuk..."
Badannya mulai bergetar hebat, menyerah pada rasa nikmat. Dia mulai menggerakkan pantatnya, naik turun di atasku, memancingku untuk ikut bergerak. Aku memegang pinggangnya, membantu setiap hentakannya.
Slep.. bles.. Astri menggeliat-geliat keenakan, "Dik.. Dik.. Geliii.. Dik.. ahh..." Lalu dia mengerang, "Terus, Dik... jangan berhenti..." Aku sudah tidak mempedulikan lagi, kemaluanku sudah terlanjur masuk.
Aku mulai menghentak dari bawah, seirama dengan gerakannya. Gerakan kami makin cepat, membuat suara *plok-plok* memenuhi ruangan. Dia terus mendesis dan menjerit kecil, "Ah.. Dik.. ah.. Dik.."
Ternyata Astri sudah merasakan nikmat dan meringis-meringis kesenangan. Tangannya mencengkeram bahuku kuat, kukunya sedikit menusuk kulitku. Dia meremas rambutku, mencium aku kayak orang gila.
Aku terus cepat-cepat menghentak kemaluanku maju mundur, "Dik.. Dik.." Aku merasakan miss V Astri mengeluarkan cairan, rupanya dia sudah orgasme, tapi aku belum. Aku percepat gerakan menghentakku, lebih dalam, nggak berhenti, mengejar puncak.
"Terus Dik.. terus Dik.. lebih cepat lagi.." pinta Astri, suaranya putus-putus, nggak sabar. Nggak lama aku merasakan kemaluanku berdenyut, tanda akan keluar. Aku menarik pinggulnya, mendekatkan miss V-nya ke kemaluanku.
"Hmm.. hmm.. aduhai.. Dik.." gumamku, mataku terpejam, menikmati sensasi ini. Aku menghentak beberapa kali lagi dengan sangat cepat. Dan.. krott.. krott.. cairan beningku menyemprot ke dalam miss V Astri.
Astri menjatuhkan badannya di atasku, napasnya tersengal-sengal. Keheningan kembali menyelimuti ruang tengah, hanya diselingi napas kami yang masih memburu. Aku dan Astri terbaring di sofa, tubuh kami saling menempel erat.
Wajahnya bersandar di bahuku, rambutnya yang sedikit basah menempel di leherku. Aku bisa merasakan detak jantungnya yang masih cepat. Perasaan campur aduk meliputi diriku: kaget, puas, dan sedikit rasa bersalah.
"Mbak... aku..." Aku mencoba mencari kata-kata untuk memulai percakapan. Mbak Astri mengangkat kepalanya, menatapku dengan mata yang masih berkaca-kaca, tapi ada senyum tipis di bibirnya. "Sshh... nggak usah bicara apa-apa, Dik," bisiknya lembut, namun dengan nada yang jelas menunjukkan bahwa dia tidak menyesali.
Dia menyentuh pipiku, mengusapnya pelan, lalu kami terdiam lagi untuk beberapa saat, saling meresapi momen. Dia perlahan bergeser, duduk tegak. "Lebih baik kita bersih-bersih dulu, Dik. Nanti kalau ketahuan, gawat," katanya.
Kami bangkit dari sofa, membereskan sedikit kekacauan, mengambil kaus dan mengenakan kembali celana dalam. Kami membersihkan diri seadanya di kamar mandi terdekat, memastikan tidak ada jejak yang tertinggal. Aku kembali ke dapur untuk memastikan panel listrik benar-benar tidak bisa diperbaiki malam itu.
Setelah semuanya dirasa aman, kami kembali duduk di sofa ruang tengah, menyalakan televisi dengan volume rendah. Kami pura-pura menonton film sampai pagi, sesekali bertukar pandang yang penuh arti dan rahasia. Ada senyum tipis yang tersungging di bibir Mbak Astri tiap kali mata kami bertemu, senyum yang mengatakan banyak hal tanpa kata.
Pagi harinya, suasana kembali normal. Mbak Astri menyiapkan sarapan seperti biasa, omelet dan roti panggang. Kami makan sambil mengobrol ringan, seolah tidak ada hal luar biasa yang terjadi semalam, membicarakan rencana Mas Budi pulang. Namun, di balik semua kepura-puraan itu, ada rahasia besar yang kini tersimpan di antara kami berdua. Sebuah ikatan yang terbentuk di kegelapan malam, di tengah keheningan rumah, karena sebuah lampu yang mati. Sejak malam itu, setiap kali istriku tidak ada di rumah, bayangan Mbak Astri seringkali muncul di pikiranku, membentuk cerita dewasa yang kini menjadi bagian tak terpisahkan dari hidupku.
Komentar
Posting Komentar