Hasrat Terpendam Ibu Kandungku

Ibu Kandung

Suasana di rumah kakek sore itu terasa hangat, meskipun ada sedikit kekhawatiran menyelimuti beberapa anggota keluarga. Beberapa hari sebelumnya, ibu kandungku jatuh di dapur dan kakinya terkilir, lukanya cukup parah dan sekarang dibalut perban. Walaupun bisa jalan pelan-pelan, Ibu kesulitan mengganti perbannya sendiri, terutama di bagian belakang betis.

Melihat Ibu kesusahan, aku menghampirinya di kursi teras, kakinya sedikit diangkat. Ibu kelihatan kurang nyaman. "Ibu, gimana kakinya? Masih sakit?" tanyaku khawatir.

Ibu senyum tipis. "Lumayan, Nak. Agak nyut-nyutan. Ini perbannya juga udah waktunya ganti, tapi Ibu gak bisa menjangkau sendiri." Karena Ibu gak bisa sendiri, aku jadi tergerak buat bantu.

"Mau aku bantu, Bu?" tawarku. Ibu kelihatan lega banget. "Beneran, Nak? Kamu gak keberatan?" Raut wajah Ibu tulus banget.

"Ya enggak lah, Bu. Ayo kita cari tempat yang lebih sepi biar Ibu lebih enak." Aku lihat sekeliling, banyak keluarga di ruang tamu. Penting buat cari tempat sepi buat ganti perban ini.

Akhirnya kami ke kamar kosong di lantai atas. Ibu duduk di kasur dan perlahan buka perban lamanya. Lukanya merah dan agak bengkak. Melihat kondisinya, aku jadi makin hati-hati. "Sebentar ya, Bu. Aku ambil kotak P3K di tas Ibu," kataku sambil cari peralatan yang dibutuhkan. Persiapan yang baik penting biar ganti perbannya lancar.

Setelah ketemu kotak P3K, aku berlutut di depan Ibu. "Coba Ibu angkat sedikit kakinya." Aku bersihkan luka Ibu pakai antiseptik dengan hati-hati. Ibu meringis pelan. Ibu kelihatan perih, jadi aku makin lembut. "Maaf ya, Bu, agak perih," ujarku pelan. Aku tetap hati-hati waktu mau pasang perban baru.

Setelah luka bersih, aku siap pasang perban baru. "Ibu bisa agak miring? Susah nih balut bagian belakangnya." Ibu nurut dan miringin badan. Pas Ibu miring, bagian belakang betisnya yang kebuka gak sengaja nyentuh pahaku. Kulitnya terasa hangat. Aku coba fokus ke perban. Sentuhan tadi bikin aku sedikit buyar. "Nak, ini celana Ibu agak ngeganjel. Boleh dinaikin dikit biar kamu lebih gampang balutnya?" pinta Ibu. Permintaan Ibu ini bikin aku harus lebih dekat.

Aku agak gugup, tapi berusaha profesional. "Oh, iya Bu, gak apa-apa." Suasana jadi sedikit tegang. Ibu narik sedikit celananya ke atas, jadi kelihatan lebih banyak bagian kakinya. Aku mulai balut lukanya dengan hati-hati. Beberapa saat kemudian, Ibu gerak sedikit karena gak nyaman. Ibu kelihatan gak nyaman, aku jadi khawatir. "Nak, maaf ya kalau Ibu banyak gerak. Ini pinggang Ibu juga pegal duduk kayak gini," keluhnya.

"Gak apa-apa, Bu. Sebentar lagi selesai," jawabku. Pas balut bagian atas luka, tanganku gak sengaja nyentuh lembut betis Ibu yang hangat. Aku langsung narik tangan. Sentuhan kedua ini terasa lebih kuat. "Maaf, Bu. Gak sengaja," kataku salah tingkah. Suasana jadi canggung.

Ibu senyum tipis. "Iya, Nak. Kamu hati-hati aja." Tapi senyumnya gak sepenuhnya hilangin rasa aneh yang mulai aku rasain. Aku lanjut balut perban dengan lebih fokus. Namun, sentuhan tadi membangkitkan ingatan tentang lembutnya kulit Ibu. Pikiran-pikiran aneh mulai muncul di otakku. Pikiran terlarang itu datang tanpa bisa dicegah. ...Gak sadar, gerakanku jadi lebih lambat pas balut perban. Aku coba serapi mungkin, tapi pikiran mulai ke mana-mana. Hangatnya badan Ibu yang dekat, bau minyak antiseptik campur bau badan khasnya, semua terasa beda dari biasanya. Perasaan beda ini bikin aku susah fokus.

Tiba-tiba, Ibu narik napas panjang. "Nak," panggilnya pelan. Panggilan lembut itu bikin aku sadar dari lamunan. "Iya, Bu?" jawabku pelan, berusaha biasa aja. Tapi susah banget buat bersikap normal. "Kamu kok kelihatan agak pucat?" tanyanya sambil nengok ke aku. Ibu merhatiin malah bikin aku makin salah tingkah. "Gak apa-apa, Bu. Mungkin kamar ini agak panas," jawabku bohong. Bohong dikit ini bikin jarak antara kami.

Ibu senyum tipis. "Ibu juga merasa agak gak enak. Baju Ibu ini agak ketat di dada, jadi agak sesak." Ketidaknyamanan Ibu ini seperti memberi alasan untukku melanjutkan. Tiba-tiba, Ibu pegang ujung kausnya dan narik sedikit ke atas, pas di bawah dada, kayak mau kasih ruang lebih. Sekilas, aku bisa lihat samar-samar kulitnya. Jantungku langsung deg-degan. Pandangan sekilas itu bikin hasratku yang terpendam membara. Aku coba lanjut balut perban, tapi konsentrasiku makin hilang. Tanganku agak gemetar. Ibu gerak lagi, sekarang agak menghadap ke aku. Posisi Ibu ini makin deketin jarak kami. "Nak, maaf ya kalau Ibu jadi ngerepotin. Posisi duduknya emang gak enak," katanya lembut. Nada lembut Ibu ini beda dari biasanya.

Pas Ibu gerak, lututnya gak sengaja nyentuh lenganku. Sentuhan itu terasa deket dan pribadi banget. Aku tahan napas. Sentuhan fisik ini bikin jantungku makin kencang. "Gak apa-apa, Bu. Sebentar lagi selesai," ujarku lagi, coba jaga jarak. Namun, jarak fisik ini makin susah dijaga. Aku hampir selesai balut perban. Tinggal satu putaran lagi. Tiba-tiba, Ibu ulurin tangan dan sentuh tanganku yang pegang perban. Sentuhan Ibu kali ini terasa lebih sengaja.

"Nak," panggilnya lagi, suaranya lebih rendah. Suara rendah Ibu ini bikin seluruh tubuhku merinding. Aku lihat Ibu. Ada tatapan beda di matanya, bukan kayak tatapan Ibu ke anak. Ada lembut campur sesuatu yang lain, sesuatu yang bikin aku aneh dan tertarik sekaligus. Tatapan itu bikin aku bingung tapi juga terpesona.

"Iya, Bu?" jawabku, suara agak getar. Emosiku mulai gak stabil. Ibu narik napas lagi, lalu tiba-tiba tangannya gerak dari tanganku ke lenganku, lalu naik pelan sentuh bahuku. Sentuhan itu lembut tapi panas. Sentuhan yang makin intim ini menghilangkan semua raguku. "Kamu... udah gede ya, Nak," katanya pelan, tatapannya lembut. Kata-kata Ibu ini kayak undangan yang gak diucapin. Aku cuma bisa diam, terpaku sama tatapan dan sentuhannya. Aku ngerasa ada listrik yang ngalir di antara kami. Suasana di kamar itu tiba-tiba jadi приват dan intens banget. Keintiman yang gak diduga ini bikin aku lupa akal sehat. Pelan-pelan, Ibu narik tanganku yang masih pegang perban dan genggam erat. Tangannya hangat dan lembut di genggamanku. Genggaman erat Ibu ini kayak kunci kami dalam momen itu.

"Ibu... Ibu ngerasa deket banget sama kamu, Nak," bisiknya, suaranya hampir gak kedengeran. Bisikan itu kayak pengakuan yang selama ini dipendam. Kata-kata itu kayak pintu yang kebuka di otakku. Perasaan aneh yang dari tadi aku rasain sekarang mulai jelas. Aku tatap mata Ibu dalam-dalam, cari jawaban atas bingung dan dorongan yang tiba-tiba muncul di diriku. Jawaban itu kelihatan jelas dari tatapan Ibu.

Dan kemudian, tanpa bisa aku tahan, aku deketin wajahku ke wajah Ibu...

Bibirku bergetar pas makin deket ke bibir Ibu. Aku bisa merasakan napas hangatnya di wajahku. Matanya merem pelan, kayak ngasih izin atas apa yang bakal terjadi. Jantungku deg-degan banget, campur rasa bersalah dan hasrat yang gak bisa ditahan. Perasaan campur aduk ini bikin adrenalin makin naik.

Tangannya makin erat di bahuku. Aku bisa merasakan lembut kulitnya di balik baju. Bau badannya makin kuat, bikin aku ngerasa aneh yang belum pernah aku rasain sebelumnya ke Ibu sendiri. Bau dan sentuhan Ibu sekarang punya daya tarik yang beda.

Akhirnya, bibirku nyentuh bibir Ibu. Sentuhan pertama terasa lembut dan canggung. Tapi, pelan-pelan ciuman itu jadi lebih dalam, lebih nuntut. Aku rasain bibir Ibu balas ciumanku dengan lembut tapi pasti. Ciuman pertama itu awal dari segalanya. Ciuman itu lama juga, cukup buat bikin hasrat yang terpendam keluar. Aku rasain tangan Ibu gerak dari bahuku ke belakang leherku, membelai rambutku lembut. Sentuhan itu bikin aku makin hilang kendali. Kendaliku perlahan hilang.

Pelan-pelan, aku lepasin ciuman dan lihat wajah Ibu. Matanya masih merem, tapi bibirnya agak kebuka. Pipinya agak merah. Ibu kelihatan rapuh tapi juga... menggairahkan dengan cara yang bikin bingung. Gairah yang tersembunyi sekarang mulai kelihatan.

Tanpa ngomong apa-apa, aku cium lagi bibir Ibu, kali ini lebih berani. Aku rasain lidahnya nyentuh lidahku, sensasi yang bikin seluruh tubuhku getar. Tanganku yang tadi pegang perban sekarang gerak sentuh pipi Ibu, lalu turun ke lehernya. Ciuman yang makin dalam ini bikin hasrat makin kuat.

Ciuman kami makin panas. Aku rasain Ibu agak narik kausnya ke bawah, kayak ngasih jalan. Aku gak sia-siain kesempatan itu. Tanganku gerak sentuh dadanya di balik kaus tipis yang dipakainya. Aku bisa rasain lembut dan bentuknya yang masih padat meski udah gak muda lagi. Sentuhan di dadanya terasa nyata banget dan bikin nafsu.

Lanjut Ke Bagian Yang Lebih Panas!

Ibu desah pelan di sela ciuman kami. Suara itu kayak bisikan yang bakar semua kewarasanku. Aku makin dalam ciuman itu, lumatin bibirnya lembut tapi penuh gairah. Desahan Ibu itu lampu hijau buat lanjut.

Terus, tanpa sadar, tanganku gerak turun, sentuh perut Ibu, lalu makin turun ke pinggangnya. Aku rasain hangat di balik celananya. Dorongan yang makin kuat bikin aku pengen jelajah lebih jauh. Dorongan yang gak bisa ditahan itu bikin aku lupa semua pertimbangan.

Pelan-pelan, aku lepasin ciuman dan lihat mata Ibu yang sekarang kebuka dan natap aku sayu. Ada ragu, bingung, tapi juga hasrat yang jelas banget di sana. Tatapan yang penuh hasrat dan pasrah itu jawabannya. "Nak..." bisik Ibu pelan, suaranya getar. Bisikan lirih Ibu itu konfirmasi atas apa yang bakal terjadi. Aku gak jawab, cuma terus natap dia. Aku bisa rasain gejolak yang sama di diriku dan di diri Ibu. Kami berdua di ambang batas, antara larangan dan hasrat yang gak bisa ditahan. Ambang batas itu bentar lagi kami lewatin.

Dan kemudian, aku deketin lagi bibirku ke bibir Ibu...

Ciuman kami nyatu lagi, kali ini dengan sentuhan yang lebih berani. Tanganku masuk ke bawah kaus Ibu, rasain hangat kulitnya langsung. Ibu desah lebih keras, dan tangannya sekarang meluk leherku, balas ciumanku dengan semangat yang sama. Keberanian dalam sentuhan kami makin menjadi.

Aku rasain sentuhan lembut di rambutku, lalu tangan Ibu turun ke tengkukku, belainya lembut tapi penuh gairah. Aku makin kebawa suasana, lupa sejenak anehnya situasi ini dan cuma fokus sama sensasi yang aku rasain. Sensasi yang bikin mabuk ini kuasai semua indraku.

Pelan-pelan, aku tarik kaus Ibu ke atas, perlihatkan dadanya yang udah gak kencang kayak dulu, tapi tetap punya daya tarik sendiri. Putingnya kelihatan agak tegang. Tanpa ragu, aku bungkuk dan kecup lembut salah satu putingnya. Kecupan lembut itu ungkapan hasrat yang gak terbendung.

Ibu menggeliat kecil dan erang pelan. Suara itu kayak panggilan yang bakar hasratku. Aku pindah ke puting yang lain, hisap lembut. Ibu makin erang, badannya agak keangkat dari kasur, dan tangannya makin erat meluk kepalaku. Erangan Ibu itu respon yang membangkitkan. Aku rasain sesuatu yang basah di balik celana Ibu. Tanpa sadar, tanganku gerak ke sana, sentuh kain celana dalamnya yang terasa lembap. Ibu kaget lagi dan buka matanya, natap aku dengan tatapan yang penuh hasrat dan sedikit pasrah. Kelembapan itu bukti hasrat yang sama.

"Nak..." bisiknya lagi, suaranya makin lirih dan getar. Bisikan penuh hasrat itu bikin jantungku makin kencang.

Aku gak jawab, terus belai dadanya sambil sesekali kecup putingnya. Tanganku lalu gerak turun, sentuh perut Ibu, lalu makin turun sampai batas celananya. Aku rasain hangat di sana. Hangat yang aku rasain itu makin bakar keinginanku.

Tanpa ragu, aku buka kancing celana Ibu dan tarik turun resletingnya pelan-pelan. Ibu cuma merem, biarin aku lakuin apa yang aku mau. Celana itu melorot sedikit. Aku bisa rasain hangat badan Ibu makin jelas. Kepasrahan Ibu itu lampu hijau buat aku lanjut. Aku cium lagi bibir Ibu, kali ini sambil tanganku gerak sentuh bagian pribadinya di balik celana dalam. Kain itu terasa basah dan hangat. Ibu desah panjang dan agak angkat pinggulnya. Sentuhan yang makin intim itu bikin aku hilang semua ragu.

Terus, tanpa bisa aku tahan lagi, aku buka celanaku sendiri. Ibu buka matanya dan lihat ke arahku. Aku bisa lihat kaget campur penasaran di matanya pas lihat kejantananku yang udah tegang sempurna. Pandangan Ibu itu campuran rasa ingin tahu dan ketertarikan. Aku deketin Ibu, badan kami sekarang cuma beda beberapa senti. Aku bisa rasain napas hangatnya di kulitku. Aku cium lagi bibirnya dengan lebih mendesak, dan kali ini aku rasain tangannya gerak sentuh dadaku, lalu turun ke perutku. Sentuhan timbal balik ini makin bakar hasrat kami.

Sentuhan tangannya bikin aku makin bergairah. Aku rasain dorongan yang gak bisa ditahan buat nyatuin badan kami. Pelan-pelan, aku posisiin diri di antara kedua kaki Ibu yang agak kebuka. Posisi intim ini puncak dari hasrat kami. "Ibu..." bisikku pelan, suaraku getar. Bisikan lirihku itu ungkapan gejolak yang aku rasain.

Ibu natap aku dengan mata sayu. "Hati-hati, Nak..." bisiknya sebagai jawaban, dengan nada hampir pasrah. Jawaban Ibu yang pasrah itu izin yang aku tunggu. Dengan pelan dan hati-hati, aku coba masukin kejantananku ke dalam vagina Ibu. Aku rasain sedikit tahanan, tapi lalu masuk perlahan. Ibu agak meringis, tapi gak nolak, malah agak sesuaikan posisinya. Penyatuan yang perlahan ini terasa nyata banget. Aku berhenti sebentar, kasih waktu buat Ibu sesuaikan diri. Kami saling tatap. Aku bisa lihat sedikit air mata di sudut matanya, tapi juga ada ekspresi pasrah dan bahkan sedikit nikmat yang samar. Momen hening ini penuh emosi campur aduk.

Lalu, pelan-pelan aku mulai gerak. Gerakan pertamaku canggung, tapi lama-lama makin lancar. Ibu mulai desah lebih keras, badannya gerak sedikit ikutin iramaku. Gerakan yang makin intens ini bangunin hasrat yang lebih dalam. "Ah... Nak... pelan-pelan..." bisik Ibu di sela desahannya, tangannya makin erat meluk punggungku. Desahan Ibu itu melodi nikmat yang aku rasain. Aku terus gerak, rasain hangat dan lembap di dalam vaginanya, sensasi yang asing tapi bikin mabuk. Ibu juga kayaknya nikmatin, kelihatan dari gerakan pinggulnya. Aku bisa rasain cairan basahin vaginaku, tanda Ibu mulai terangsang lebih jauh. Respon Ibu ini makin pacu hasratku. "Nak... ah... terus..." bisik Ibu, suaranya makin serak dan penuh hasrat. Bisikan penuh hasrat Ibu itu dorongan buat aku terus. Aku terus gerak makin cepat dan dalam, lupa semua batasan dan larangan. Yang aku rasain cuma nikmat yang kuat banget dan intim yang aneh tapi nyata sama Ibu sendiri. Nikmat yang lewatin batas ini kuasai semua indraku.

Gak lama kemudian, aku rasain puncak nikmat makin dekat. Otot-ototku tegang, dan aku rasain cairan hangat mancar dari kejantananku ke dalam rahim Ibu. Aku erang lega, meluk Ibu makin erat. Kami berdua ngos-ngosan, capek tapi juga penuh perasaan yang susah diungkapin kata-kata. Pelepasan yang intens ini nyatuin kami dalam hening.

Setelah beberapa saat, aku narik diri dan baring di samping Ibu. Kami berdua diam, coba cerna apa yang baru aja terjadi. Hening di kamar itu canggung tapi juga penuh intim yang gak bisa dihindarin. Hening yang canggung tapi intim ini simpan rahasia kami.

Napas kami ketemu, dan aku bisa rasain jantung Ibu deg-degan kencang di dekatku. Aku nengok dan lihat wajahnya. Matanya merem, dan ada senyum tipis di bibirnya. Wajahnya kelihatan lebih tenang, lebih damai. Ekspresi damai Ibu kasih sedikit tenang dalam bingungku. Aku ulurin tangan dan sentuh lembut pipinya. Ibu buka matanya pelan dan natap aku. Tatapan kami ketemu, dan kali ini gak ada lagi bingung atau ragu yang dalam. Cuma ada capek dan... rahasia yang sekarang kami bagi berdua. Tatapan yang bagi rahasia ini ikat kami. "Nak..." bisik Ibu pelan, suaranya masih serak. Bisikan serak Ibu pecahin hening.

"Iya, Bu?" jawabku lirih. Jawaban lirihku itu cermin bingungku. "Terima kasih..." ucapnya pelan, lalu merem lagi. Ucapan terima kasih Ibu yang ambigu itu membekas di benakku. Aku gak tahu harus jawab apa. Ucapan terima kasih itu ambigu banget, bisa berarti banyak hal sekaligus. Apa Ibu terima kasih atas lega fisik? Atau ada makna lain yang tersirat di dalamnya? Makna tersembunyi dalam ucapan Ibu itu terus hantui aku.

Kami berdua diam lagi, larut dalam pikiran masing-masing. Suara ribut dari acara reuni di bawah sana terasa jauh dan gak nyambung sama apa yang baru aja terjadi di kamar приват ini. Suara reuni yang jauh itu kontras sama intim kami.

Setelah beberapa saat, Ibu buka matanya lagi dan coba bangun duduk. "Sebaiknya kita siap-siap, Nak. Nanti ada yang curiga kalau kita terlalu lama di sini." Sadar akan kenyataan balik lagi ke kami. Aku bantuin dia duduk. Kami berdua kelihatan berantakan. Aku lihat bekas cairan di paha Ibu dan di celanaku. Malu balik lagi hantui aku, campur perasaan aneh yang masih susah diartiin. Malu dan bingung ini bakal terus hantui aku. Kami berdua bersih-bersih seadanya di kamar mandi losmen yang sederhana itu. Gak ada obrolan penting di antara kami. Kami berdua kayak dua orang yang baru aja bagi rahasia besar dan sekarang canggung buat saling tatap. Hening yang canggung selimutin setiap gerak kami.

Setelah selesai, kami keluar dari kamar dengan perasaan campur aduk. Di luar, suasana reuni masih ramai kayak tadi. Kami berdua coba senyum dan bersikap biasa aja, tapi di dalam hati, kami tahu semua udah berubah. Garis gak kelihatan udah kelewatin, dan hubungan kami gak akan pernah sama lagi. Perubahan yang gak bisa dihindarin ini bakal selamanya membekas.

Sejak hari itu, ada hati-hati yang baru dalam interaksi kami. Kontak mata jadi lebih singkat, dan obrolan lebih terbatas. Tapi, kadang, pas kami gak sengaja tatap, aku bisa rasain sisa intim yang terjadi di kamar itu, rahasia yang bakal kami simpan berdua selamanya. Dan di saat sepi, pikiran tentang hangatnya badan Ibu dan sentuhannya bakal balik lagi hantui aku, campur rasa bersalah dan bingung yang gak ada habisnya. Rahasia kelam itu bakal terus hantui setiap interaksi kami.

Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel